First Night with Mathematic
Matematika, kata yang bagi sebagian besar manusia di muka bumi(jadi tidak hanya di indonesia saja) cenderung menakutkan…(apa iya?).
Sebenarnya kita tidak dapat menyalahkan siapapun yang memiliki persepsi demikian. bagi saya itu hanyalah masalah ‘Tak kenal maka tak sayang’.
Ada beberapa hal yang mungkin menimbulkan persepsi demikian :
1. Pola pembelajaran apapun disekolah yang sudah salah sejak awal
2. Pola pengajaran matematika yang kaku, statis dan cenderung otoriter. (padahal semakin mendalami materi matematika justru semakin memperlihatkan bahwa matematika adalah ilmu yang dinamis)
3. Memecah pemahaman antara ilmu eksakta dengan ilmu sosial ( semua ilmu sama, coba saja bagi anda yang sudah Sarjana untuk terus belajar hingga S3, dijamin pemahaman akan semakin mengkerucut))
4. Anda sendiri mungkin memiliki pandangan yang selalu negatif (negative thinking) terhadap matematika sehingga apapun materi matematika yang diberikan, anda selalu merasa ‘muak’.
Dan masih banyak lagi yang men-support paradigma tersebut sehingga negative thinking terhadap matematika begitu mengakar.
Banyak siswa yang menghindari pelajaran matematika dengan alasan tidak ada hubungannya dengan kehidupan (mungkin gurunya disekolah yang tidak dapat menerangkan dengan baik manfaat matematika bagi kehidupan? who knows?). Akibatnya pada saat melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi menghindari jurusan/program studi yang ‘tidak ada matematika-nya’.
Ada sebuah cerita, seorang anak telah dipastikan lulus dari SMA/SMU/SLTA/STM/SMEA/MA/PAKET C/Sederajat dan si anak ingin melanjutkan studinya keperguruan tinggi tetapi tidak mau ‘yang ada matematikanya’ alhasil si anak memilih jurusan musik namun stress karena ternyata butuh logika matematika pada saat memahami not lagu. Kemudian si anak pindah jurusan dan memilih jurusAan sistem informasi, teknik informatika, ilmu komputer dengan harapan tidak bertemu matematika tetapi si anak tidak menyadari bahwa program-program studi tersebut cikal bakalnya adalah matematika (stress deh jadinya) dan kemudian pindah jurusan memilih jurusan ekonomi yang semua isinya adalah melulu ‘estimasi’ yang disokong teori matematika ekonomi macam ekonometrika, riset operasional dsb sehingga si anak tambah semakin depresi. si anak akhirnya memilih jurusan sejarah dengan harapan tidak ada matematikanya, saat mengikuti pelajarannya ternyata pola berpikir mengeksplorasi sejarah menggunaan penalaran logika dan kemampuan statistika (nah lho!!@#$@).
Akhirnya si siswa tadi tidak lagi melanjutkan studinya ke perguruan tinggi dan bekerja saja toh tidak perlu pemikiran matematika, saat diterima bekerja, cara bekerja yang sistematis dan menggunakan nalar menghasilkan si anak yang langsung pulang ke rumah dan tidak mau bekerja lagi.
Mungkin cerita di atas terlalu didramatisir, karena hidup itu dinamis. Namun disini saya hanya ingin berbagi bahwa matematika adalah hidup kita, kalo boleh berbagi, mulai dari sekarang buang jauh-jauh pandangan negative terhadap matematika. cobalah untuk lebih positif, kalaupun sulit memahami matematika bukan berarti harus memusuhinyakan?. kalo tidak salah di norwegia ada perguruan tinggi yang memasukkan jurusan matematika ke fakultas bahasa, keren kan!.